Asosiasi Guru Penulis Lembata

Hadiah Buku Pendidikan Matematika Realistik yang diberikan oleh Arie Wibowo, M.Pd guru matematika asal Kalimantas Selatan dalam momen Olimpiade Guru Nasional Tahun 2018 di Hotel D'Max, Praya, Lombok, Nusa Tenggara Barat tanggal 4 - 8 Mei 2018

Perwakilan NTT

Lima perwakilan NTT dalam ajang olimpiade guru nasional tahun 2018 yang terdiri dari guru mata pelajaran Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, dan guru kelas SD bersama para petinggi Kesharlindung Dikdas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Busana Daerah Papua

Bersama perwakilan guru asal Papua dalam ajang olimpiade guru nasional tahun 2018 saat malam penutupan, yang diwarnai dengan kekaragaman busana daerah masing-masing

Display Inovasi Pembelajaran

Menyanggahi pertanyaan para juri pada tahapan display dalam ajang Inovasi Pembelajaran tahun 2017 di Hotel Mercure Harvestland, Kuta, Bali, tanggal 4 - 8 September 2017

Wisata ke Pandawa

Diberikan kesempatan oleh panitia inobel untuk wisata bersama kelompok MIPA. Ini adalah salah satu destinasi wisata di Bali yang saya senangi

Rabu, 26 Agustus 2015

Sambut baru di stasi St. Yosep Ilewutung


Oleh: Jemmy Leumara

"Bersatu dalam kristus", tema singkat yang  mendasari serangkayan perayaan ekaristi komonio suci (sambut baru) di stasi santo Yosep Ilewutung. Perayaan ekaristi yang begitu sakral menitik beratkan pada peneguhan iman katolik anak. 

Perayaan ekaristi suci ini dipimpin langsung oleh pastor paroki Hadakewa Romo Krisrian Uran, pr. Dalam kotbahnya sekitar 30 menit itu, Romo Tian sapaan akrabnya ini, beliau berpesan agar setiap orang tua bisa menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Romo Tian tak lupa meyentil peran aktif kepala keluarga dalam membimbing keluarga katolik kecil yang telah dititip Tuhan padanya. 

Perayaan ekaristi ini  lebih terasa hikmat dengan adanya koor yang begitu meriah  dari stasi di daerah terpencil ini. Di akhir perayaan itu, terlihat orang tua dan ke 8 anak yang menerima komunio pertama hari itu sangat bahagia setelah Romo Tian meberikan ucapan terima kasih  bagi mereka satu persatu.

Rangkaiyan komunio pertama ini dilanjutkan dengan kegiatan ramah tama dengan ke 8 anak yang menerima sakramen maha kudus ini. Rangkayan kegiatan yang sangat terasa nuansa kekeluargaan ini di laksanakan di kapela kecil di tengah kampung ilewutung.

Adapun para guru yang menjadi dasar pembentukan iman anak di sekolah ini, turut diundang dalam acara ramah tama tersebut. Kegiatan yang dimotori oleh keluarga anak sambut baru dan aparat desa ini sangat bermakna dan meninggalkan begitu banyak kesan.

Sambutan-sambutan, acara makan minum sampai pada Pembagian rosario oleh Romo Tian menjadi rangakayan kegiatan yang begitu berkesan. Pada akirnya berjabat tangganlah  menjadi puncak dari semua rangkayan kegiatan ini.

Selasa, 18 Agustus 2015

Nasionalisme Ala "Orang Kampung"


APEL HUT KEMERDEKAAN RI KE-70

Dalam rangka memperingati HUT kemerdekaan RI yang ke-70 tingkat desa Lamalela dihadiri oleh barisan siswa/i SDI Ilowutung, barisan siswa/i SMPN Satap Ilewutung, barisan Linmas, Masyarkat, dan juga Undangan.

Bertindak selaku komandan upacara saat itu adalah Gaspar Laga yang juga merupakan guru olahraga SMPN Satap Ilewutung, inspektur upacara adalah kepala desa Lamalela, bapak Paskalis Lili Lengari. Paskibraka masih yang sama dibawah pimpinan saudara Ako yang telah mensukseskan HUT pramuka ke-54 gugus Paehati di Hidalabi desa Banitobo.

Sebagai penutup sambutan Bupati Lembata dalam rangka memperingati HUT kemerdekaan RI KE-70 yang dibacakan di seluruh desa se kabupaten Lembata, sebuah kutipan dari St. Jhon "orang-orang sukses mencintai pekerjaan mereka; .... mereka terus mengembangkan diri ... dan mereka tahan banting menghadapi waktu, kegagalan, dan kemalangan"

Selain membacakan sambutan tersebut, Paskalis Lili Lengari selaku inspektur upacara menyampaikan beberapa hal strategis berkaitan tema kemerdekaan "ayo kerja". Ia mengajak seluruh lapisan masyarakat agar melaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab antara lain: 1) penetapan dan penegasan batas desa, 2) pembangunan posyandu, dan 3) rabat jalan. 

Selanjutnya ia mengharapkan setiap warga mulai dari, aparat desa, para guru, dan warga masyarakat secara keseluruhan untuk mengisi kemerdekaan dengan caranya sendiri-sendiri dengan tulus ikhlas. Sebab kita bukan berjuang untuk kemerdekaan ini tetapi hanya mengisi kemerdekaan. Sebagai desa yang menyandang status wilayah terpencil, terisolir, dan terpinggirkan (3T) maka mari kita membangun desa ini dengan "hug'e tou-mat'ge tou" yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya "satu hati-satu pikiran"


SEMANGAT NASIONALISME ALA "ORANG KAMPUNG"

Semangat nasionalisme masyarakat desa Lamalela sangat luar biasa walaupun terbilang masih jauh dari kemajuan baik sumber daya manusianya juga pembangunan. Hal ini terlihat saat dikumandangkan pekik kemerdekaan oleh inspektur upacara diikuti seluruh peserta "merdeka...merdeka....merdeka". Begitu pekikan dan semangat semangatnya balasan dari para hadirin dalam upacara tersebut.

Suatu budaya dalam menyambut hari raya keagamaan, hari raya kebangsaan, dan juga hari-hari raya lainnya, selalu didahului dengan berburu bersama oleh para kaum adam (bapak-bapak dan juga pemuda) dalam desa. Ada bagian tertentu dari hasil buruannya akan dikumpulkan pada panitia penyelenggara sebagai lauk pada hari H. 

Selain kegiatan olahraga tradisonal seperti: engran, balap karung, gangsing, dll, turut mewarnai kegiatan ini tos kenegaraan yang di wakili beberapa aparat desa, toko adat, dan tokoh masyarakat. Sebagai penutup dalam setiap kebersamaan, selalu di akhiri dengan makan dan minum bersama (makanan lokal) yang disediakan oleh masyarakat setempat.



HARAPAN KEMERDEKAAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 5 pulau besar dan ribuan pulau kecil. Walaupun telah merdeka sejak 70 tahun yang lalu, tetapi pembangunan untuk daerah pelosok memang masih jauh dari sentuhan pemerintah.

Seperti yang disampaikan
bapak Rafael Kupang selaku pemangku adat suku lengari yang juga salah satu staf pengajar SMPN Satap Ilewutung. Terkesan penduduk setempat masih kaku dengan adat istiadat yang tidak seharusnya dipertahankan. Pola pikir masyarakat kita memang perlu diubah misalnya, kekayaan keluarga atau hal lain yang lebih dimanfaatkan untuk kepentingan urusan adat dibanding pendidikan anak. 

Sebab tujuannya untuk merubah wajah desa yang lebih baik dari sekarang. Hal itu dapat terwujud ketika setiap orang memperoleh pendidikan yang layak. Lebih lanjut ia menyatakan "ketika orang berpendidikan, tradisi termasuk sejarah tidak hanya diceritakan saja tetapi dituangkan dalam bentuk tulisan, dengan tetap menghargai tradisi yang telah diwarisi nenek moyang kita"

Sementara bapak Melky Toran, selaku Kepala SMPN Satap Ilewutung dalam kaitan dengan HUT RI KE-70 mengharapkan dukungan dari pemerintah baik dari pusat hingga tingkat desa dalam menyukseskan pendidikan di wilayah terpencil sebagai wujud dari program pendidikan, penuntasan wajib belajar 9 tahun dengan hadirnya lembaga pendidikan SMP di desa Lamalela. Selanjutnya ia mengharapkan agar anak yang tamat dari SD langsung melanjutkan di SMP tanpa harus keluar dari kampung (mencari sekolah yang lain)

Mewakili masyarakat secara keseluruhan, bapak Thomas Pira mengharapkan pada pemerintah pusat dan daerah agar memperhatikan harga komoditi seperti kemiri, biji mete, dan kopra sebagai tumpuan hidup masyarakat setempat. Sebab komoditi merupakan satu-satunya tumpuan masyarakat untuk menunjang ekonomi dalam keluarga termasuk di dalamnya pendidikan anak seperti yang disampaikan bapak Rafael Kupang.

Sabtu, 15 Agustus 2015

HUT PRAMUKA KE-54 GUGUS PAEHATI




NAPAKTILAS PRAMUKA GUGUS PAEHATI

“Pramuka adalah persaudaraan, persahabatan, dan kesetiakawanan. Dalam pramuka kita akan belajar untuk saling peduli, saling menolong, menjadikan alam sebagai ibu kita”. Demikian kata Melkior Toran, A.Ma.Pd selaku Majelis Pembina Gugus (Mabigus) Paehati (Persatuan Sehati) dalam apel pembukaan kegiatan pramuka. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari dengan menjadikan Hidalabi (sebuah desa terpencil di Kabupaten Lembata) sebagai bumi perkemahan.

Kegiatan ini melibatkan sekolah-sekolah yang berada di gugus Paehati antara lain, SMPN Satap Ilewutung, SDI Ilowutung, SDK Nuba Lamatuka, dan SDK Lamatuka, juga adalah sekolah-sekolah yang menjadi bagian dari Siaga dan Penggalang. Semuanya terlibat aktif. Hal ini menciptakan tali-persaudaraan yang begitu hangat.

Kaka Stefanus Pito Dalo selaku koordinator pembina siaga merasa bahwa kegiatan pramuka sangat penting untuk membentuk kemandirian anak. “pramuka adalah kekuatan yang harus dimanfaatkan untuk membentuk karakter siaga dan pengggalang menjadi pribadi yang mandiri”. Spirit ini, begitu antusias ditanggapi oleh para siaga dan penggalang dengan menyanyikan yel-yel pramuka.

Para siaga dan penggalang kemudian dipisahkan ke dalam tujuh kelompok dengan didampingi kakak-kakak pembina antara lain; kakak Katarina Liban, kakak Antonia Bura, kakak Antonia Uak, kakak Agustina Loman, kakak Helena Abon, kakak Niko Lowai, kakak Don Bosko Tobe, kakak Jemy Leumara, kakak Hyronimus Lado, kakak Ferdi Keor, kakak Kanisius Tome, kakak Stefanus Pito Dalo, kakak Gaspar Laga, kakak Edigius Kedawu, kakak Gabriel Gawi, kakak Antonius Da Silva. Mereka dengan tulus dan tegas mendampingi para siaga dan penggalang.

Aneka kegiatan seperti; hiking, mencari jejak, membaca tanda, menterjemahkan kode, menyanyikan yel-yel pramuka, menjadi penyemangat. Terlebih lagi masyarakat setempat turut serta dalam kegiatan pramuka kali ini dengan menyumbangkan makanan dan minuman sebagai bekal perjalanan Lintas Alam ke Wae Bla’ang.

Sesudah menempati kelompok masing-masing, kegiatan selanjutnya adalah mencari jejak. Kegiatan ini menjadikan Wae Bla’ang sebagai tujuan dari para siaga dan penggalang. Dalam konteks masyarakat setempat “Wae” yang artinya “Air”, dan “Bla’ang” yang artinya “Besar” adalah suatu tempat unik berupa aliran sungai yang berada di tengah hutan. Untuk mencapai tempat ini, para siaga dan penggalang harus melewati hutan, mendaki, dan menurun terjalnya bukit, dengan jarak kurang lebih 4,5 km dari bumi perkemahan Hidalabi.

Sebelum tiba di Wae Bla’ang, para siaga dan penggalang harus melewati “duang” suatu tempat yang dikeramatkan masyarakat setempat. Duang yang dalam konteks orang-orang setempat artinya “hutan yang penuhi pohon-pohon besar” ini dipenuhi hutan enau. Konon dikisahkan bahwa ada seorang leluhur (Bapak Alo namanya), yang pertama kali datang, tinggal, dan kemudian meninggal di sana. Rohnya akan murka, jika kita datang atau melewati tempat itu dengan tujuan atau niat yang jahat. Oleh karena itu, kita harus menyucikan niat kita sebelum melewati area itu dengan cara diperciki air (yang ada di tempat itu) oleh salah seorang penduduk setempat.

Selama perjalanan itu, para pembina memberi motivasi dan menjelaskan tentang cara-cara yang harus dilakukan untuk menemukan “kotak rahasia”. Kotak rahasia merupakan sebuah permainan mencari harta karun yang menuntut kreativitas dan kekritisan para siaga dan penggalang.

Tak terasa para siaga dan penggalang menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam untuk tiba di lokasi. Sungguh sebuah pemandangan mempesona mata, karena di tengah hutan kelapa terdapat sungai yang mengalir, menjadikan tempat ini indah untuk melepaskan kepenatan. Wajah-wajah puas dan kebahagiaan begitu nampak. Para siaga dan penggalang kemudian diberi kesempatan untuk menikmati indahnya alam Wae Bla’ang.

Para pembina begitu bersemangat untuk menunjukkan tekad bahwa mereka juga bagian dari Praja Muda Karana. Mencari kayu api, menyusuri sungai untuk menangkap ikan, udang, kepiting, dan katak (sebagai lauk untuk santapan siang), bakar ubi dan pisang, semuanya mereka lakukan dengan penuh semangat.

Tampak jelas bahwa para siaga, para penggalang dan pembina menyatu dalam satu raga, satu roh, dan satu cinta yakni pramuka. Menjadi bagian dari pramuka ternyata mengubah dan menciptakan sebuah persatuan dari sekian banyak perbedaan. Dan Wae Bla’ang menjadi saksi atas semua itu.

MALAM API UNGGUN

Cerita indah seorang siaga atau penggalang tak akan lengkap tanpa malam api unggun. Mengapa? “karena api unggun adalah simbol semangat para siaga dan penggalang yang akan membakar segala keburukan masa lalu mereka, dan membentuk kepribadian yang lebih baik” demikian kata Gaspar Laga selaku koordinator pembina penggalang.

Api unggun itu Pancasila. Api unggun itu Dasa Darma yang akan memberi kekuatan sekaligus menjadi pedoman hidup bagi Praja Muda Karana untuk bisa mengabdi pada tanah air dan bangsa. Dalam pesan singkatnya sebagai salah satu Mabigus, Yohanes Pito Lenny mengatakan bahwa “pramuka adalah pemersatu. Pramuka adalah sebuah rantai yang mengikat kita dengan cinta persaudaraan. Jagalah dan simpanlah itu dalam hati kita masing-masing”.

Kegiatan malam api unggun ini menjadi begitu hikmad ketika kakak Jemy Leumara membacakan puisi buah karyanya “aku siaga, kamu penggalang, semangat cinta tanah air kami, jangan kau tanyakan, panasnya akan membakar, setiap niat yang akan menghalang, jangankan kamu, dia atau pun mereka”. Itulah sepenggal puisi yang begitu menyentuh setiap hati malam itu. Malam yang penuh cinta akan kenangan persaudaraan yang diwujudkan dalam nyanyian-nyanyian indah para Praja Muda Karana. Kami pramuka gugus paehati mencintai alam yang adalah ibu kami, mencintai sesama yang adalah saudara kami.

HUT PRAMUKA KE-54 GUGUS PAEHATI

Berkat kerja keras dan buah kesabaran Gaspar Laga selaku koordinator pembina penggalang yang juga menangani khusus para pasukan pengibar bendera, apel HUT Pramuka ke-54 gugus Paehati tahun ini di Hidalabi memberi warna yang berbeda. Dibawa pimpinan Ako (sapaan Mikhael Naran) salah satu penggalang yang kini duduk di kelas 9 SMPN Satap Ilewutung, begitu tegap dan rapih seoalah-olah kita sedang mengikuti upacara apel bendera di istana negara.

Dengan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dipimpin langsung oleh kakak Tina (sapaan Agustina Loma) salah satu guru SDI Ilowutung, bendera dengan ukuran panjang 2,5 m dan lebar 1,4 m dikibarkan dengan sempurnah di atas tiang bambu oleh pasukan pengibar bendera yang berdampingan langsung dengan bendera Pramuka. Selain siaga dan penggalang, peserta apel bendera juga dihadiri oleh masyarakat setempat. Yang hadir saat itu berjumlah sekitar 30 orang, terdiri dari anak yang belum berusia sekolah, orang dewasa dan juga lansia.

Dalam sambutannya selaku pembina pada upacara apel bendera memperingati HUT Pramuka ke-54 tanggal 14 Agustus 2015 kali ini, Melki Toran mengajak para peserta terutama para siaga dan penggalang untuk belajar hidup dari cermin. Lebih lanjut Ia mengatakan cermin adalah diri kita, dan banyangan dalam cermin adalah jiwa kita. Sebab cermin selalu memberikan bayangan apa adanya, walaupun pada dasarnya bayangan dalam cermin terkesan terbalik (kiri menjadi kanan dan sebaliknya). Oleh karena itu, cermin perlu dijaga agar tidak retak, sebab cermin yang retak akan menujukkan bayangan yang tidak sempurnah.

Selepas upacara tersebut, semua peserta termasuk masyarakat yang hadir saat itu saling berjabatan tangan dan membagi senyuman. Dipenghujung sebelum perpisahan, semua yang hadir saat itu diajak untuk makan dan minum bersama oleh Melki Toran selaku Mabigus yang juga merupakan salah satu putera dusun itu. Ini suatu budaya yang masih dijaga dengan baik sejak dahulu kala. Tetapi jangan bertanya “dari mana anggarannya?”, sebab semuanya lokal. Mulai dari kebaku (kacang hutan), jagung titi, daging (hasil buruan masyarakat setempat), dan dilengkapi dengan tuak (aren hasil sadapan dari pohon lontar). Semua disuguhkan dengan tulus oleh masyarakat setempat. Terimakasih Hidalabi, terimaksih untuk kebersamaan ini.

Minggu, 09 Agustus 2015

MENGUAK TABIR DIBALIK KISAH “PENI DAN NOGO”


(Refleksi filosofis atas cerita orang Lamatuka yang pernah dibukukan Gradi Tukan)

Cerita “Peni dan Nogo” merupakan sebuah kisah nyata berasal dari Kampung Lamatuka. Sebuah kampung terpencil di Kabupaten Lembata yang di bangun dari reruntuhan “Tragedi Lepan- Batan” (Peristiwa bencana alam; gempa dashyat *Blero lero* yang disusul tsunami besar *aru bure*, menewaskan hampir sekitar ratusan orang kala itu).

Cerita ini dimulai dengan perjuangan seorang ibu yang selamat dalam tragedi na’as itu. Dengan darah dan keringat, dia membesarkan anak kakak-beradik, Peni dan Nogo. Kedua anak dara itu tumbuh menjadi gadis primadona dengan lakon kharakter yang begitu berbeda. Peni yang lembut, penuh perhatian, sopan dan suka menolong, sementara itu, Nogo yang sedikit agresif, sombong, dan agak angkuh mewakili dua sisi kehidupan berbeda dari rahim yang sama seperti dua sisi pada satu mata uang logam.

Konflik memanas dengan kehadiran Demon, seorang pemuda ganteng bersahaja, yang kemudian terjebak dalam cinta segitiga. Nogo mencintai Demon, tapi Demon lebih mencintai Peni, sedangkan Peni juga mencintai Demon. Seperti dongeng “Bawang Merah dan Bawang Putih”, persaingan merebut hati Demon, membuat Nogo menghalalkan segala cara, termasuk menjebak dan menuduh Peni, saudarinya sebagai seorang “Suanggi” (Suanggi: orang yang dibenci dan diharamkan saat itu, karena memiliki kekuatan ilmu hitam. Biasanya membutuhkan tumbal seperti memakan daging manusia untuk meningkatkan ilmunya).

Nasib Peni pun ditentukan oleh keputusan  Kepala Kampung dan Tua Adat yang begitu gampang dihasut dan diprofokasi oleh “seorang wanita”. Peni akhirnya dibuang dan dikucilkan di sebuah tempat yang jauh dari kampung, Wade atau Berawang? (Polemik dua lokasi yang masing-masing meninggalkan sisa jejak kehidupan Peni selama pembuangan).

Tahun demi tahun berlalu, dan Peni menghabiskan kegetiran hatinya di tempat asing itu (hutan belantara). Ulat dan biji-biji buah lontar sisa  makanan babi hutan, menjadi teman pengisi perut. Dia juga harus berebutan air dengan binatang-binatang hutan untuk memenuhi dahaganya, kadang dia harus mengalah karena tubuhya tak mampu menghalau binatang-binatang liar itu. Semakin hari tubuhnya menjadi kurus kering, seperti sebuah “Torso hidup” (Rangka yang dibaluti kulit semata), dan itu membuatnya sangat menderita. Tetapi penderitaan yang lebih hebat adalah saat dia menyaksikan sendiri pengkhianatan yang dilakukan oleh Nogo, saudari kandungnya. Airmata, menjadi bukti kepedihanya saat itu.

Hingga pada suatu ketika, Demon datang mencari, menemukan dan membawanya pulang ke kampung. Demon jugalah yang nantinya membuktikan bahwa Peni tidak bersalah. Darah Nogo mendidih karena rasa cemburu dan sakit hati. Penghianatan yang dia lakukan justru semakin menumbuhkan cinta yang begitu besar dari Demon pada Peni. Akhirnya, Nogo bunuh diri, dan tebing curam dekat kampung menjadi saksi penghianatanya yang berujung maut.

Cerita Ulangan Tentang Pegkhianatan Masa Lalu

Kalau ditelusuri, sebenarnya cerita “Peni dan Nogo” merupakan sebuah ulangan dari kisah pengkhinatan beberapa ribu atau ratus tahun yang lalu, seperti cerita “Kain dan Habel” atau cerita “Romus dan Romulus”, atau cerita-cerita lainya. Meski alur dan ending cerita sedikit berbeda, tetapi rasa iri, cemburu dan keinginan untuk mendapatkan “sesuatu yang lebih”, menjadi latar yang sama atas munculnya sebuah penghianatan besar. Heranya, “bumbu” pengkhianatan ini menjadi semacam “trend” yang bisa membuat indah kisah manusia. Coba bayangkan, apakah cerita “Samson” yang perkasa menjadi begitu hebat, tanpa pegkhianatan yang dilakukan seorang Dehlila atau apakah hebatnya kisah “Julius Cesar” tanpa penghianatan yang dilakukan oleh seorang Cleopatra, ataukah apa hebatnya cerita kejatuhan “Suharto” tanpa kisah dibalik pengkhianatan orang-orang dekatnya?

Kisah pengkhianatan Nogo terhadap saudarinya, menjadi cermin paling nyata akan salah satu sisi kehidupan manusia saat ini. Ketidakmampuan untuk menahan godaan membuat kita akhinya menjadi seorang “psikopat” murni yang gila akan harta, kuasa dan nafsu. Kasus pembunuhan Yoakim Langodai, kasus pembunuhan Laurensius Wadu, atau berbagai kasus pembunuhan lainya yang terjadi di Kabupaten Lembata saat ini, meskipun belum pasti benar, tapi bisa jadi, persoalan ini dimulai dengan pengkinanatan orang-orang dekat yang memiliki wajah seorang Nogo. Apalagi, ketika persoalanya bersentuhan dengan ranah politik. Pengkhianatan menjadi cara cerdik untuk mencapai tujuan itu. Variabel pertemanan, persahabatan, dan persaudaraan yang dibangun sejak dalam kandungan menjadi begitu tak berharga dan tak bernilai. Tanpa pernah bermaksut menghakimi Leluhur kita ini, tapi cerita dibalik kematian seorang Nogo menjadi “warisan” penting  bagi kita semua, untuk lebih tahu diri, untuk lebih puas dengan apa yang kita miliki dan untuk lebih mencintai “darah” kita, ketimbang mencintai harta, kuasa dan nafsu.

Apa “ending wajib” dari setiap pengkhianatan? Sudah pasti Penyesalan, walaupun buah dari pengkianatan kita, bisa menciptakan sebuah era penuh kemegahan. Seorang bapa di kampung Lamatuka  pernah bilang begini, “Guru…yang paling diingat orang saat dia meninggal adalah pengkhianat. Apalagi kalau orang yang mengkianati itu, adalah orang yang kita sayangi dan kita cintai. Kesedihanya akan dibawah sampai mati”. Siapakah diantara kita yang mau mengingkari pernyataan ini? Cerita dari kampung Lamatuka ini, mungkin tidak mampu menghapus “sisi kiri” kita, tapi paling tidak kita harus tahu dan sadar bahwa setiap pengkianatan yang dilakukan selalu membutuhkan “tumbal” orang-orang yang kita sayangi dan cintai.

Dunia Tanpa Wajah Seorang “Nogo”

Beberapa film holywood yang sempat ditayangkan via stasiun TV swasta seperti “Avatar” karya sutradara James Cameron atau film “Guardians Of Galaxy” karya sutradara James Gunn, mencoba untuk menggambarkan kepada khayalak sebuah dunia lain yang berbeda dari bumi kita. Dunia dimana, orang selalu bisa menerima hidup apa adanya, dunia dimana orang melihat persaingan sebagai cara untuk meningkatkan kualitas hidup, dunia dimana orang-orang melihat sesamanya sebagai saudara (Homo homini socius), dan dunia dimana orang bahu membahu untuk menciptakan sebuah tatanan hidup yang jauh dari praktek-praktek kotor, yang kemudian hancur karena kedatangan kita manusia bumi dengan segala ambisi dan nafsu.

Kerinduan para sutradara itu terhadap sebuah dunia yang berbeda, menjadi alasan yang sama atas kerinduan orang Lamatuka untuk menciptakan sebuah dunia baru tanpa wajah seorang “Nogo” (Manusia yang menjadi srigala bagi sesamanya-homo homini lupus). Kerinduan yang sama ini juga, pernah diungkapkan oleh Plato dan Aristoteles, para Filsuf Besar Yunani dalam konsep “Politeia”, dimana nilai-nilai kemanusiaan dan cinta akan sesama menjadi landasan utama untuk menciptakan sebuah dunia yang indah dan harmoni. Mereka  memimpimkan untuk membangun sebuah tatanan Negara kota dengan Politik Nurani, sehingga seorang pemimpin, akhirnya sadar bahwa dia adalah seorang abdi atau pelayan yang diberi kuasa untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Dia yang memimpin harus menjadikan kepentingan dan kesejahteraan warga sebagai hukum tertinggi diatas kepentingan dirinya atau kelompok tertentu (Salus Populi Suprema Lex).

Lantas, apakah dengan begitu kita harus mengingkari sebagian diri kita yang merupakan warisan dari moyang kita sang Adam? Tidak, sekali lagi tidak. Sisi “ID” (Sisi Buruk) kita adalah bagian yang harus kita “tata secara rapi” lalu kita simpan atau kita kubur dalam-dalam di hati kita. Kita tidak harus menjadi malaikat untuk membuat diri kita menjadi lebih baik, tetapi paling tidak cerita orang Lamatuka ini, memberi kita pilihan untuk menjadi seorang “Peni” yang lebih baik. Seorang Peni yang bisa menciptakan kedamaian, seorang Peni yang selalu bertahan dalam tantangan, seorang Peni yang selalu bisa memberi maaf, dan seorang Peni yang selalu bisa memberi kebahagiaan.

Dunia tanpa wajah seorang “Nogo” adalah sebuah dunia tanpa kekerasan, sebuah dunia yang mencintai perbedaan dan perdamaian. Dunia tanpa wajah seorang “Nogo” adalah dunia yang dibangun dengan cinta kasih seperti kata nabi Isa, dunia yang dibangun tanpa banyak memerintah seperti kata MatmaGandhi. Dan dunia impian inilah yang harus kita bangun bersama-sama. Kita memulainya dengan menghargai orangtua kita, mencintai istri atau suami kita apa adanya, mendidik anak-anak dengan kasih dan cinta. Kemudian, kita beranjak untuk membangun sebuah tatanan yang lebih luas dengan mulai menghargai sesama, melihat sesama sebagai bagian dari diri kita, bersyukur atas keberhasilan sesama, menjadikan pekerjaan sebagai sebuah panggilan jiwa, menjadi pemimpin yang bernurani dan menjadikan Tuhan sebagai pedoman dan pegangan hidup kita. Tak bisakah kita menciptakan dunia seperti itu?

Selasa, 04 Agustus 2015

MENYENTUH MIMPI “ANAK GUNUNG”


(Sebuah lukisan Monolog atas perjalanan hidup menjadi guru di daerah terpencil)
oleh: Antonius Da Silva, S.Pd

Hari itu, tujuh tahun yang lalu dengan segala idealisme yang diusung dari kampus, saya coba menelusuri terjalnya Jalan Bengkari (jalan super sulit di kabupaten Lembata).

Tergelincir, jatuh lalu bangun lagi menjadi bumbu wajib yang mewarnai perjalanan awal itu dan hal ini hampir saja meruntuhkan mimpiku untuk menjadi "guru sesungguhnya".

Melewati hembusan angin gunung yang begitu menusuk akhirnya saya bisa mencapai Desa Lamalela, tempat dimana berdirinya SMPN Satu Atap Ilewutung (satu dari sekian sekolah terpencil yang ada di kabupaten Lembata). Sebuah bangunan yang "megah" di tengah desa berdiri kokoh diantara rindangnya pohon kemiri, seolah menyadarkan saya bahwa sebuah keajaiban telah terjadi di tempat ini.

Bayangkan! Sebuah tempat terpencil yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua (Itupun kalau pengemudinya siap jatuh), kondisi tanahnya jelek, airnya sulit, listriknya tidak jelas dan komukasinya mati hidup, bisa membangun sebuah sekolah megah yang bahkan pembangunanya di audit oleh lembaga LSM.

Setelah bertemu dan berbagi cerita dengan para guru dan masyarakat, akhirnya saya tahu bahwa mereka hanya mau membatu anak-anak mereka untuk "menyentuh impianya".
Saya begitu tersentuh, bahkan sampai detik ini ketika sudah mulai ada sedikit perubahan pada desa itu. Sering kami para guru dikritik karena mengaku kalah pada keaadaan itu, tidak disiplin, dan tidak bertanggung jawab pada profesi yang diemban.

Akan tetapi kami tetap bertahan untuk berjalan meskipun terseok-seok untuk menjalani sebuah tugas besar tanpa cap dan meterai enam ribu yakni membantu "anak gunung" menyentuh mimpi mereka.

Tidak semudah membalikan telapak tangan, mungkin kalimat ini sudah "ter-instal mati" pada memori anak-anak gunung ini. Pagi, makan nasi jagung doang; siang, masih menu yang sama (syukur kalau ada sarimi); malam, minum kopi plus makan ubi bakar. Dan ini menjadi rutinitas yang harus diamini untuk meraih mimpi itu.

Melihat mereka, kadang mau menangis terutama saat mereka berebutan cahaya pelita waktu belajar. Kadang juga mau marah pada leluhur tanah ini, kenapa harus membuat anak cucu kalian menderita di tempat ini, ketika pemerintah menerapkan untuk direlokasi. Tapi sudalah, para leluhur itu pasti punya alasan yang mungkin jauh lebih berarti ketimbang rasa simpati kita yang kadang mati seiring waktu.

Saya harus bertahan dan bertahan lagi, karena tugas besar itu butuh guru yang tahan banting, butuh guru yang siap dikritik dan dicerca. Anak-anak itu dan tatapan mata mereka yang penuh harapan itu, begitu menusuk sampai kedalam kalbu seolah berkata "kami harus berlari kemana lagi dan kepada siapa lagi untuk meraih mimpi kami, kalau bukan pada kalian ayah dan ibu guru?"

Sayapun akhirnya terjebak diantara dua pilihan, menjadi guru yang baik untuk anak didik di sekolah atau menjadi tua keluarga yang baik bagi anak dan istri di rumah? Tapi, sekali lagi saya harus menjadi guru besar yang bisa memilih keduanya.

Teman-teman seperjuanganku begitu gigih mengajar, melatih, membina dan mendidik walau cuma menjadi guru honor dengan gaji dibawah standar UMR. Semangat mereka begitu besar bahkan hampir kalah karena masalah tunjangan khusus yang tidak pernah dialami.

Pengabdian mereka pada dunia pendidikan begitu luar biasa meskipun selalu kurang dimata masyarakat setempat. Dan bersama mereka, saya selalu tersenyum dan tertawa mengisi kisah anak-anak gunung itu.

Tahun demi tahun berlalu, dan anak-anak gunung itu telah pergi meninggalkan airmata terimakasih untuk dikenang. Tapi bersama guru lainya, saya harus tetap disini menemani anak-anak gunung berbeda generasi yang punya harapan yang sama.

Cerita tentang semua kekurangan, baik itu air, listrik, komunikasi, makan-minum, sarana prasarana adalah getir yang harus kami kecapi bersama-sama lagi dengan senyum dan tawa.

Tiba-tiba pada suatu hari, anak-anak gunung itu datang. Dengan penuh semangat mereka mencium tangan kami dan bercerita tentang petualangan mereka. Begitu bangga mereka berkisah; "Guru ... anak-anak Ilewutung sekarang, ada yang jadi ibu rumah tangga, ada yang jadi ojek, ada yang jadi guru, ada yang jadi Frater, ada yang jadi suster, ada yang masih kuliah dan ada yang sedang mencari jati diri".

Kemudian mereka pergi lagi sambil berucap, "Terima Kasih Guru!" Saat itu, saya tertegun sejenak, kemudian berujar dalam hati ... "TERIMA KASIH TUHAN, KARENA SUDAH MEMBANTU ANAK-ANAK GUNUNG ITU MENYENTUH mimpinya".